Sekali lagi lebaran kita berbeda. Bukan sesuatu yang aneh memang. Soalnya emang sudah beberapa kali Bangsa Indonesia merayakan Hari Raya terbesar dan termahal di Indonesia. Termahal karena kalau dipiker-piker… berapa banyak anggaran negara yang tersedot hanya untuk merayakan hari kemenangan pasca puasa ini, mulai dari membiayai para pulisi dalam acara pengamanan lebaran, juga biaya perbaikan-perbaikan jalanan buat memperlancar arus mudik lebaran, juga stabilisasi sembako menjelang lebaran yang naeknya gila-gilaan… itu belum termasuk sumbangan dana dari sektor swasta yang ikut-ikutan mempermahal biaya lebaran karena ikut sibuknya mereka menangguk untung : mulai dari jualan roti-rotinya, jasa parselnya, jasa angkutannya… sementara sektor privat juga cukup aktif dalam menaikkan laju inflasi negara ini lewat budaya konsumtifnya yang gila-gilaan lewat aksi borong yang dilambari sifat sok pamer ke desanya itu…ibaratnya biar kata di kota diriku hidup susah…. saat mudik ke desa akunya harus kelihatan hebat….hingga temen facebuker favoritku nanti cantik jelita mbikin puisi bagus untuk menggambarkan kondisi ini…
Bulan ROMADHON itu…
10 hari pertama…. MASJID PENUH….
10 hari kedua….. MALL PENUH….
10 hari ketiga…. stasiun, terminal, bandara PENUH….
10 hari setelah syawal… PEGADAIAN PENUH….
Kembali ke topik perbedaan lebaran….seingat saya perbedaan ini muncul pertama kali saat akhir-akhir rezim Soeharto…dimana waktu itu pemerintah bersikukuh untuk merayakan lebaran nan serba kuning satu hari lebih lambat dibandingkan 2 ormas Islam terbesar : NU & Muhammadiyah. Bahkan akunya yang waktu itu lagi gahar-gaharnya dengan darah muda bikin lelucon bahwa pemerintah gak mau lebaran bareng karena malam takbirannya sudah kadhung disiapkan besar-besaran dengan festival tabuh beduk besar yang dihadiri oleh Presiden Soeharto…. Bagi banyak kalangan perbedaan hari lebaran waktu itu dipandang cukup heboh dan berani sekaligus itu adalah simbol perlawanan kaum agamis terhadap pemerintahan orde baru yang semakin serakah… sekaligus menunjukkan mulai lemahnya Soeharto dalam mengendalikan situasi di negeri ini alias takut juga…. minimal takut kualat sama kyai jika maen tangkap seperti yang dilakukan pada aktivis…. Saya sendiri waktu itu (akibat pengaruh kuat dari Bapak yang lulusan IAIN ndeso…) lebih milih ikut lebarannya pemerintah hingga memutuskan tetap puasa walau tetangga sekitar sudah sibuk lebaran duluan… Baca entri selengkapnya »